Sumber: http://jeffriegeovanie.com/index.php/artikel/budaya-sejarah/319-puasa-mendidik-kejujuran
Tanggal: 09
August 2011. Kategori: Kebudayaan & Sejarah
Pada saat ini, kejujuran menjadi
masalah besar. Tuduhan yang pernah dilontarkan para tokoh agama bahwa
pemerintah tidak jujur terkorfirmasi antara lain dengan terkuaknya kasus
Muhammad Nazaruddin. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu dalam nyanyian sumbangnya
menyeret sejumlah nama yang semuanya dekat dengan Istana. Dan mudah diduga para
tertuduh pun semuanya membantah. Tapi, kesaksian para sopir dan pengawal
tampaknya jauh lebih nyaring dari bantahan bos-bosnya.
Kemana kejujuran itu pergi? Mengapa
ketidakjujuran makin dekat dengan kekuasaan? Faktor utamanya mungkin karena
ambisi yang membutakan mata hati. Ketika mata hati dibutakan, pasti akan
menyeruak ketidakjujuran. Selanjutnya, ketidakjujuran itu akan terus memanjang
dan melingkar karena setiap ketidakjujuran pasti akan membutuhkan topangan
ketidakjujuran berikutnya. Bagaimana cara memotong lingkaran ketidakjujuran?
Puasa di bulan Ramadhan bisa menjadi salah satu jawaban. Karena puasa
satu-satunya ibadah yang tersembunyi dari ruang publik. Berbeda misalnya dengan
syahadat yang harus jelas diucapkan dan bisa didengar, shalat yang begitu jelas
geraknya, zakat harus ada hartanya, dan haji mengharuskan pergi ke tanah suci.
Semua ibadah begitu nyata kecuali puasa.
Karena tersembunyi, hanya Tuhan yang
bisa memastikan apakah seseorang menjalankan puasa atau tidak. Seseorang yang
mengaku puasa di depan publik, tak ada yang bisa menjamin ia puasa juga pada
saat sendirian, apalagi di ruang tersembunyi. Itulah puasa, mensyaratkan
kejujuran pelakunya.
Kejujuran harus ditanamkan sejak
dini pada anak-anak kita. Caranya yang paling efektif, dengan memberikan
contoh. Para orang tua dan guru-guru tidak boleh berbohong agar anak-anak (para
murid) tidak ikut-ikutan berbohong.
Masalahnya, di negeri yang katanya
menjunjung tinggi moralitas agama ini, kejujuran terasa hanya mudah dikatakan
tetapi teramat sulit dilaksanakan. Karena tidak mudahnya menjadi orang jujur
kiranya wajar belaka jika Rasulullah, pada saat ditanya para sahabat: apa yang
harus dilakukan agar dapat masuk surga? Jawab beliau: “engkau jangan bohong”.
Kebohongan –dalam arti luas—
setidaknya ada tiga macam: (1) berbohong dalam arti tidak mengatakan hal yang
sebenarnya; (2) berbohong dalam arti menutupi keburukan atau kesalahan; dan (3)
berbohong dalam arti mengingkari ucapan atau tindakannya sendiri. Apa pun
macamnya, seperti sudah disinggung di atas, kebohongan merupakan sumber dari
kebohongan-kebohongan yang lain. Untuk menutupi satu kebohongan sudah pasti
akan dibutuhkan dua atau lebih kebohongan.
Memang ada juga berbohong dengan
maksud yang baik hingga dapat ditoleransi. Misalnya berbohong untuk mendamaikan
dua orang yang sedang bermusuhan, berbohong pada pihak musuh saat
berperang, dan berbohong terhadap orang jahat untuk menyelamatkan nyawa orang
baik-baik. Tetapi secara umum, kebohongan merupakan sumber malapetaka, baik
bagi sang pembohong sendiri maupun bagi orang lain.
Sekarang ini rasanya sulit sekali
untuk menemukan teman, sahabat, dan para pemimpin yang benar-benar jujur baik
pada diri sendiri maupun –terutama—pada rakyatnya. Karena begitu terbiasanya
para pemimpin berbohong maka terasa aneh pada saat ada pemimpin yang
menyampaikan kejujuran.
Menyampaikan kejujuran –terutama
pengakuan telah berbuat kesalahan—dianggap sebagai tindakan yang naïf atau
bahkan dungu. Inilah saya kira, salah satu anomali modernitas yang kita hadapi
sekarang. Tata nilai dan norma-norma kesusilaan menjadi jungkir balik. Yang
benar disalahkan, dan yang salah dibenarkan.
Di tengah masyarakat yang sudah sarat
kebohongan ibadah puasa bisa menjadi harapan, meskipun pasti tidak akan bisa
secara instan mengubah segalanya. Puasa mungkin hanya ibarat seember air di
padang tandus.