Hadist-Hadist
Tentang Hawalah, Dhamman, Dan Syirkah
Disusun OLEH: Zainal Masri
Mahasiswa STAIN Batusangkar
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah
persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang
muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid,
melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain
sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan
dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim
dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus
muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia. Allah berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara
kaffah (menyeluruh)” [Al-Baqarah : 208].
Hutang-piutang merupakan salah satu permasalahan yang layak
dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-piutang
merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam
Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang
sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian
pentingnya masalah hutang-piutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu
hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan
hutang.
B.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam menulis makalah ini adalah dengan
adanya makalah tentang hadist hawalah, dhamman, dan syirkah ini, maka dapat
menambah pengetahuan kita tentang boleh atau tidaknya hawalah, dhamman, dan
syirkah ini.
C.
Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
1.
Pelimpahan Pembayaran Hutang
2.
Pengambil Alihan Hutang
3.
Perlakuan Dalam Syirkah
BAB II
PEMBAHASAN
HADIST-HADIST TENTANG HAWALAH, DHAMMAN, DAN SYIRKAH
A.
Pelimpahan Pembayaran Hutang (Hawalah)
Hadist:
حد ثنا عبد الله حد ثنى أ بى ثنا عبد الصمد و أبو سعيد المعنى قا لا
ثنا زاء د ة عن عب دالله بن محمد بن عقيل عن جبر قا ل تو في رجل فغسلنا ه وحنطنا
وكفنا ه ثم أ تينا به رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلى عليه فقلنا تصلى عليه
فحطا خطى ثم قا ل أعليه دبن قلنا دينا ر ان فا نصرف فتحملحما أ بو قتا دة فأ تينا
ه فقا ل أبو قتا دة الد ينا ر ان على فقا ل ر سو ل الله صلى الله عليه وسلم أ حق
الغر يم ويرىْ منهما الميت قا ل نعم فصلى عليه ثم قا ل بعد ذلك يبوما فعل لدينا
ران فقا ل انما ما ن أمس قا ل فعا د اليه من الغد فقال قد قضيتهما فقا ل رسو ل
الله صلى الله عليه وسلم الا ن بردت عليه جلد ه فقا ل معا وية بن عمر وفي هذ االحد
يث فغسلنا ه وقال فقلنا نصلى عليه.[1]
Terjemahan Hadist
“Dari Jabir, ia berkata: Telah wafat seorang dari pada kami, lalu
kami mandikan dia dan kami kapasi dia, kemudian kami bawa dia kepada Rasulullah
SAW, dan kami bertanya: apakah paduka tuan mau shalatkan dia? Lalu ia melangkah
beberapa langkah kemudian ia bertanya: adakah hutang atasnya? Kami jawab: “dua
dinar”, lalu ia berpaling. Maka Abu Qatadah tanggung (bayar) dua dinar itu,
lantas kami datang kepadanya, lalu Abu Qatadah berkata: Dua dinar itu atas
(tanggungan) saya. Sabdanya: “Betul-betul engkau tanggung dan terlepas dari
padanya mayyit (ini)?” Ia jawab: Betul. Lalu ia shalatkan dia.[2]
Asbabul Wurud
Kata Jabir:
“Seorang laki-laki telah meninggal dunia. Kemudian kami mandikan, kami kafani
dan kami bawa kepada Rasulullah SAW untuk dishalatkan. Rasulullah melangkah
selangkah seraya berkata: “Apakah ia mempunyai hutang?”. Jawabku: “Dua dinar”.
Maka pergilah Rasulullah. Kemudian Abu Qatadah melunasi hutangnya.
Rasulullahpun menyalatkannya. Esok harinya Rasulullah bertanya: “Apakah telah
kau terima yang dua dinar itu? Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya”.[3]
Syarahan Hadist
Dari hadist
diatas dijelaskan bahwa apabila ada seorang muslim yang wafat, dan ia
meninggalkan hutang, maka hutang yang dimiliki oleh orang yang meninggal
tersebut dilimpahkan/dipindahkan kepada yang bertanggung jawab untuk
membayarkan hutang tersebut.
Pelimpahan
hutang/hawalah menurut bahasa berasal dari kata al-intiqal dan al-tahwil
yang artinya memindahkan atau mengoperkan.
Sedangkan
secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikannya, antara
lain:
1.
Menurut ulama Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah:
“memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berhutang kepada yang lain yang
punya tanggung jawab kewajiban pula”.
2.
Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah
adalah: “pemindahan hutang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab
orang lain”.
3.
Syihab Al-Din Al Quyubi berpendapat hiwalah adalah “akad
yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada orang lain”.
4.
Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hiwalah adalah
pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal alaih.
5.
Menurud Idris Ahmad hiwalah adalah semacam akad pemindahan
dari tanggungan seseorang yang berhutang kepada orang lain, dimana orang lain
itu mempunyai hutang pula kepada yang memindahkannya.[4]
Dalam istilah Fiqh,
hiwalah adalah perpindahan hak dan kewajiban yang dilakukan pihak
pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal’alaih) untuk menuntut
pembayaran hutang atau membayar hutang dari atau pihak ketiga (muhal),
karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama dan pihak pertama berhutang
pada pihak kedua atau karena pihak pertama berhutang kepada pihak ketiga
disebabkan pihak kedua berhutang pada pihak pertama.[5]
Rukun dan syarat hiwalah:
Menurut Hanafiyah,
rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara
yang menghiwalkan dengan yang menerima hiwalah. Sedangkan syarat-syarat hiwalah
menurut Hanafiyah ialah:
1.
Orang yang memindahkan hutang (muhilf) dan menerima hiwalah
(rah al-dayn) adalah orang yang berakal
2.
Orang yang dihiwalkan (mahal ‘alaih) juga harus orang
berakal dan diisyaratkan pula dia meridhainya
3.
Adanya hutang muhil kepada muhil alaih
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah,
rukun hiwalah itu ada empat, yaitu:
1.
Muhil,
yaitu orang yang memindahkan hutang
2.
Muhtal,
yaitu orang yang mempunyai hutang kepada muhil
3.
Muhal ‘alaih,
yaitu orang menerima hiwalah
4.
Shigat hiwalah,
yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: “aku hiwalkan hutangku yang hak
bagi engkau kepada anu” dan Kabul dari muhtal dengan kata-katanya “aku
terima hiwalah engkau”.[6]
Beban orang yang
melakukan hiwalah
Apabila hiwalah
berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur, andai kata muhal
‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia,
maka muhal tidak boleh kembali
lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
B.
Pengambil Alihan Hutang (Dhamman)
Hadist:
حد ثنا يحي ابن
بكير حد ثنا الليث عن عقيل عن ابن شها ب عن أبي سلمة عن أبي هريرة رضى الله عنه ان
رسوا الله صلى الله عليه وسلم كا ن يؤ تى با لرجل المتوفى عليه الدين فيسأ ل هل
ترك لد ينه فضلا فان حد ث انه ترك لد ينه وفا ء صلى وا لا قا ل للمسلمين صلواعلى
صا حبكم فلما فتح الله عليه الفتوح قا ل ا نا اولى با لمؤ منين من انفسهم فمن توفى
من المؤ منين فترك د ينا فعلى قضا ؤ ه ومن ترك ما لا فلورثته.[7]
Terjemahan Hadist:
“Dari Abi Hurairah bahwasannya Rasulullah
SAW biasanya dibawa kepadanya orang yang mati yang menanggung hutang, maka ia
bertanya: Adakah ia tinggalkan apa-apa buat membayarnya? Jika dikatakan bahwa
ia ada meninggalkan pembayarannya, ia shalatkan dia, dan jika tidak, ia
bersabda: Shalatkanlah sahabat kamu. Tetapi setelah Allah beri kepadanya
beberapa kemenangan, ia bersabda: Aku lebih hampir kepada mu’minin dari pada
diri mereka, dari itu siapa-siapa yang mati meninggalkan hutang, maka aku tanggung
membayarnya”.[8]
Asbabul Wurud
Dari sepanjang usaha pemakalah dalam mencari asbabul wurud hadist ini, pemakalah
tidak menemukan asbabul wurudnya.
Syarahan Hadist
Hadist diatas
menjelaskan tentang penanggungan hutang/pengambil alihan hutang, menurut
ketentuan syari’at islam penanggungan hutang ini di istilahkan dengan “kafalah”
(menggabungkan), “dhamman” (jaminan).
Menurut
ketentuan syara’ kafalah/dhamman ini diartikan sebagai: proses penggabungan kafil
menjadi tanggungan ashiil dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama
atau hutang, atau barang atau pekerjaan.[9]
Syarat-syarat penanggungan hutang:
1.
Kafiil
Kafil
adalah seseorang yang mempunyai kewajiban untuk melakukan penanggungan.
2.
Ashiil
Ashiil
adalah orang yang mempunyai hutang, atau orang yang ditanggung.
3.
Makfullahu
Makfullahu
adalah orang yang memberikan hutang, oang yang memberikan hutang disyaratkan
harus dikenal oleh kafiil, hal ini dimaksudkan untuk kemudahan.
4.
Makfulfihi
Makfulfihi
adalah sesuatu yang djadikan sebagai jaminan atau tanggungan dalam hal ini
dapat berupa jaminan kebendaan atau jaminan perorangan.[10]
Dasar hukum Dhamman:
a.
Surat Yusuf ayat 66:
tA$s% ô`s9 ¼ã&s#Åöé& öNà6yètB 4Ó®Lym Èbqè?÷sè? $Z)ÏOöqtB ÆÏiB «!$# ÓÍ_¨Yè?ù'tFs9 ÿ¾ÏmÎ/ HwÎ) br& xÞ$ptä öNä3Î/ ( !$£Jn=sù çnöqs?#uä óOßgs)ÏOöqtB tA$s% ª!$# 4n?tã $tB ãAqà)tR ×@Ï.ur ÇÏÏÈ
. Ya'qub berkata:
"Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu,
sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu
pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh".
tatkala mereka memberikan janji mereka, Maka Ya'qub berkata: "Allah adalah
saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)".
b.
Surat
Ali-Imran ayat 37:
$ygn=¬6s)tFsù $yg/u @Aqç7s)Î/ 9`|¡ym $ygtFt7/Rr&ur $·?$t6tR $YZ|¡ym $ygn=¤ÿx.ur $Ìx.y ( $yJ¯=ä. @yzy $ygøn=tã $Ìx.y z>#tósÏJø9$# yy`ur $ydyZÏã $]%øÍ ( tA$s% ãLuqöyJ»t 4¯Tr& Å7s9 #x»yd ( ôMs9$s% uqèd ô`ÏB ÏZÏã «!$# ( ¨bÎ) ©!$# ä-ãöt `tB âä!$t±o ÎötóÎ/ A>$|¡Ïm ÇÌÐÈ
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar)
dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan
Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui
Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai
Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab:
"Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki
kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
C.
Perlakuan Dalam Syirkah
Hadist:
حد ثنا محمد بن سليما ن المصيصي , حد ثنا محمد
بن الزبرقا ن , عن أبي حيا ن التيمي , عن أ بيه , عن أ بي هريرة رفعه قا ل :(( ان
الله تعلى يقو ل : أنا ثا لث الشر يكين م لم يخن أحد هما صا حبه , فاء ذا خا نه
خرجت من بينهما.[11]
Terjemahan Hadist:
“Dari Abi Hurairah ia berkata: telah bersabda Rasulullah
SAW: Allah Ta’ala telah berfirman: aku menigai dua orang yang bersekutu selama
salah seorang dari mereka tidak mengkhianati yang lainnya. Maka apabila ia
berkhianat, aku keluar da antara mereka”.[12]
Asbabul Wurud
Dari sepanjang usaha pemakalah dalam mencari asbabul wurud hadist ini,
pemakalah tidak menemukan asbabul wurudnya.
Syarahan Hadist
Hadist diatas
menjelaskan tentang syirkah (kerjasama). Syirkah secara bahasa yaitu percampuran
atau serikat.
Menurut
beberapa ulama, ada beberapa macam defenisi syirkah diantaranya:
1.
Sayyid Sabiq mendefenisikan syirkah sebagai akad antara orang-orang
yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan
2.
Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib mendefenisikan syirkah
sebagai ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara
masyur (diketahui).[13]
3.
M. Syafi’I Anwar memdefenisikan syirkah sebagai
perjanjian kesepakatan untuk menyertakan modalnya pada suatu proyek, yang
biasanya berjangka waktu panjang. Resiko rugi atau laba dibagi secara berimbang
dengan penyertaannya.[14]
Dari beberapa
defenisi diatas dapat kita lihat bahwa syirkah/serikat pada dasarnya merupakan
suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk mendirikan suatu usaha, yang
mana modal usaha merupakan modal bersama melalui pernyataan modal oleh
masing-masing pihak.
Dasar hukum syirkah
Adapun dasar hukum syirkah antara
lain:
1.
Surat Shaad ayat 24, yang berbunyi:
قا ل ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR (
¨bÎ)ur #ZÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt 4n?tã CÙ÷èt wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3
£`sßur ß¼ãr#y $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çmu §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur )
ÇËÍÈ
Artinya: “Daud berkata:
"Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa kami
mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan
bertaubat”.
2.
Surat
An-Nisa’ ayat 12 yang berbunyi:
*
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur 4
bÎ*sù tb$2 Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç9$# $£JÏB z`ò2ts? 4
.`ÏB Ï÷èt 7p§Ï¹ur úüϹqã !$ygÎ ÷rr& &úøïy 4
Æßgs9ur ßìç9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6t öNä3©9 Ós9ur 4
bÎ*sù tb$2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4
.`ÏiB Ï÷èt 7p§Ï¹ur cqß¹qè? !$ygÎ ÷rr& &ûøïy 3
bÎ)ur c%x. ×@ã_u ß^uqã »'s#»n=2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4
bÎ*sù (#þqçR%2 usYò2r& `ÏB y7Ï9ºs ôMßgsù âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$# 4
.`ÏB Ï÷èt 7p§Ï¹ur 4Ó|»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy uöxî 9h!$ÒãB 4
Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3
ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÎ=ym ÇÊËÈ
Artinya: “Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika
Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun”.
Para ahli hukum
islam telah sepakat untuk mengemukakan bahwa serikat ini boleh didalam
ketentuan islam.[15]
Rukun dan syarat sah syirkah
Adapun yang menjadi rukun serikat
menurut ketentuan syariat islam adalah:
a.
Sighat (lafaz akad)
b.
Orang (pihak-pihak yang mengadakan serikat)
c.
Pokok pekerjaan (bidang usaha yang dijalankan).
Adapun
syarat-syarat orang yang mengadakan shigat itu adalah:
a.
Orang berakal
b.
Baligh
c.
Dengan kehendaknya sendiri.
Sedangkan
mengenai barang modal yang disertakan dalam serikat hendaklah berupa:
a.
Barang modal yang dapat dihargai
b.
Modal yang disertakan oleh masing-masing persero dijadikan satu.[16]
Macam-macam
syirkah
Secara garis
besar dalam islam, syirkah dibedakan kepada dua bentuk, yaitu:
a)
Syirkah amlak
Adalah
beberapa orang memiliki modal secara bersama-sama sesuatu barang, pemilikan
secara bersama sesuatu barang, pemilikan secara bersama-sama atas suatu barang
tersebut bukan disebabkan adanya perjanjian diantara pihak, misalnya pemilikan
harta secara bersama-sama yang disebabkan karena pewarisan.
b)
Syirkah uqud
Disebabkan
para pihak memang sengaja melakukan perjanjian untuk bekerja bersama dalam
suatu kepentingan harta dan didirikannya serikat tersebut bertujuan memperoleh
keuntungan dalam harta benda.
Menurut fuqaha amshar, syirkah
dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1.
Syirkah ‘inan
2.
Syirkah muwafadhah
3.
Syirkah abdan
4.
Syirkah wujuh[17]
Syarat-syarat syirkah menurut hanafiyah
dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a.
Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan
harta maupun dengan yang lainnya. Dalam jhal ini terdapat dua syarat yaitu yang
berkenaan dengan benda yang di akadkan adalah harus dapatditerima sebagai
perwakilan, dan yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan
harus jelas dan dapat diketahui yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan
dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga dan yang lainnya.
b.
Sesuatu yang bertalian dengan syirkah harta, dalam hal ini terdapat
dua perkara yang harus di penuhi yaitu bahwa modal yang dijadikan objek akad
syirkah adalah dari alat pembayaran, seperti riyal dan rupiah dan yang
dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun
berbeda.
c.
Sesuatu yang bertalian dengan syirkah muwafadhah, bahwa dalam
muwahadhah disyaratkan modal dalam syirkah muwafadhah harus sama, bagi yang
bersyirkah ahli untuk kafalah, dan bagi yang dijadikan objek akad diisyaratkan
syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
d.
Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan
syarat-syarat syirkah muwafadhah.
Cara membagi
keuntungan atau kerugian tergantung besar dan kecilnya modal yang mereka
tanamkan. Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
a.
Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak
yang lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas rela sama rela dari
kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah
satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan
syirkah oleh salah satu pihak.
b.
Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf (keahlian
mengelola harta), baik karena gila ataupun karena alasan lainnya.
c.
Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah
lebih dari dua orang yang batal hanya yang meninggal saja. Syirkah berjalan
terus terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota
yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan
perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
d.
Salah satu pihak ditaruh dibawah penampunan, baik karena boros yang
terjadi padawaktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sifat yang lainnya.
e.
Sebab salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa
lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh
madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bengkrut
itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan bersangkutan.
f.
Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama
syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga
tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para
pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi pertempuran yang tidak
bias dipisah-pisahkan lagi, menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi yang
terjadi setelah dibelanjakan, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa
harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari hadist diatas adalah:
1.
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia
melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan
harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan
2.
Syirkah adalah pencampuran atau keikutsertaan dua orang atau lebih
dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang di tetapkan berdasarkan
perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan
dan kerugian dalam bagian yang ditentukan
B.
Saran
Dari makalah yang penulis buat ini, maka penulis menyarankan agar
mempelajari secara benar mengenai hadist tentang hawalah, dhamman dan syirkah,
yang tujuannya adalah untuk menjadi pedoman bagaimana cara pelimpahan
pembayaran hutang, pengambil alihan hutang dan syirkah dalam kehidupan
sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Aswar
Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001
Al-Faqih Abdul
Wahid Muhammad, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqh Para Mujtahid, Jakarta:
Pustaka Amani, 2007
Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, Jilid 3
A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: CV. Diponegoro,
1988
Shahih Bukhari, Kitab Kafalah, Bab Ad-Dayni, Jilid
3
Chairuman
Pasaribu & Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 2004
Ibnu Hamzah Al
Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud 2, Jakarta: Kalam Mulia,
2004
Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008
Kitab Sunan Abi
Daud, Bab Buyu’, No 26, Jilid 3
Kesimpulan Hasil
Diskusi
1.
Hawalah yang berjalan sah seperti apa ?
Sebelum menjelaskan hal diatas, terlebih
dahulu dijelaskan apa itu hawalah. Hawalah adalah pemindahan hutang dari orang
yang berhutang ke orang lain atau dari A ke B, dikarenakan dikarenakan orang
tersebut wafat atau karena hal yang lain.
Jadi hawalah
yang berjalan sah itu adalah apabila seseorang atau orang yang mau menanggung
hutang telah bersedia menanggung pelimpahan hutang dari orang yang tidak bisa
membayar hutang (sudah wafat)
2.
Contoh hadits pengambil alihan hutang ?
Misalnya ada seseorang yang berhutang meninggal, terus dibawa
kepada Nabi, lalu nabi menanyakan apakah ia mempunyai apa-apa untuk
membayarnya. Jika ada, maka shalatkan, jika tidak nabi berkata mari sama-sama
sekarang. Kalau tidak ada maka nabi langsung yang menanggungnya.
3.
Usaha yang dimaksudkan syirkah
-
Syirkah Inan yaitu bekerja sama dalam modal, maksudnya hanya dalam
modal saja bekerja sama, sedangkan masalah pekerjaannya disuruh orang lain
melakukan.
-
Syirkah Abdan yaitu bekerja sama dalam pekerjaan maksudnya
seseorang bekerja sebagai penyapu di sebuah perusahaan lalu dating temannya,
maka orang ini mengajak lalu dating temannya, maka orang ini mengajak temannya
untuk bekerja bersamanya, maka hasil dari pekerjaannya tersebut dibagi dua.
4.
Kadar hutang yang di hiwalahkan
Menurut pendapat kami kadar hutang yang di hiwalahkan itu sesuai
dengan kesepakatan antara orang yang berhutang dengan orang yang mau
menerima/menanggung orang yang berhutang. Hal ini jika orang tersebut masih
hidup. Sedangkan orang yang berhutang tersebut sudah meninggal maka kadarnya
hutang yang di hiwalahkannya semua hutangnya.
5.
Maksud kalimat shalatkanlah sahabat kamu Dalam hadits pengambil
alihan hutang
Nabi mengajak kepada saudara
saudara-saudaranya untuk menshalatkannya bersama-sama atau disegerakan
menshalatkannya untuk itu kalu ada yang menganggu si mayyit maka diselesaikan
secepatnya.
6.
Jika yang bersyirkah meninggal batal ikatan. Apa maksudnya ?
Karena syirkah ini adalah kerjasama antara dua orang atau lebih.
Kalau yang satu sudah meninggal maka syirkah tidak bias dilakukan maka putuslah
atau batal ikatan syirkahnya.
7.
Penjelasan syirkah dan apa hubungannya dengan hadits
Syirkah merupakan kerjasama antara dua orang atau lebih dalam
berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Penanaman modal
dilakukan bersama. Syirkah berakhir apabila salah satu pihak tidak mau
bekerjasama lagi.
Hubungannya dengan hadit yaitu karena hadits yang dibuat adalah
hadits bekerjasama dalam peperangan maka hubungannya yaitu sama-sama
mengumpulkan harta rampasan perang tetapi setelah di nasahkan oleh Q.S al-Anfal
ayat 1, maka hadits ini tidak dipakai lagi, jadi kami mencari hadits yang lain.
8.
Orang yang menanggung hutang tetapi ia meninggal dan ia berhutang
juga, siapa yang wajib membayar hutang orang yang ditanggung oleh yang
meninggal ?
Yang wajib membayar hutang semuanya adalah pihak ahli waris orang
yang meninggal yang terakhir dikarenakan ia telah berjanji akan membayar hutang
orang yang meninggal pertama.
9.
Maksud hadits pengambil alihan hutang
-
Membayar hutang itu wajib.
-
Yang paling wajib membayar hutang adalah nabi, karena nabi
pemimpinnya.
-
Nabi member peluang kepada orang untuk membayar hutang, agar
mendapat syafaat di akhirat karena telah membantu meringankan kesusahan orang
lain.
-
Dianjurkan kepada ahli waris untuk tidak melepaskan mayit dalam
berhutang.
[1]Musnad
Imam Ahmad Ibn Hanbal, Jilid 3, hlm 330
[3] Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud 2,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm 251-252
[4] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm
99-101
[5] Adiwarman
Aswar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), hlm 117
[7]Shahih Bukhari, Kitab Kafalah, Bab Ad-Dayni, Jilid 3, hlm 59-60
[9] Chairuman Pasaribu & Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian
Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm 148
[10] Ibid, hlm 149-150
[11] Kitab Sunan Abi Daud, Bab
Buyu’, No 26, Jilid 3, hlm 226
[12] Op.Cit, A.Hassan, hlm 443
[13] Op.Cit,
Hendi Suhendi, hlm 76
[17]Al-Faqih
Abdul Wahid Muhammad, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqh Para Mujtahid, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), hlm 143
tq makalah.x ya :)
BalasHapusAnonim,, salamkenal,,ia sama2, terimakasih juga telah mampir di blognya..:)
Hapus