Senin, 01 Oktober 2012

HAWALAH, DHAMMAN DAN SYIRKAH


Hadist-Hadist Tentang Hawalah, Dhamman, Dan Syirkah
Disusun OLEH: Zainal Masri
Mahasiswa STAIN Batusangkar






BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia. Allah berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)” [Al-Baqarah : 208].
Hutang-piutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-piutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-piutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.

B.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam menulis makalah ini adalah dengan adanya makalah tentang hadist hawalah, dhamman, dan syirkah ini, maka dapat menambah pengetahuan kita tentang boleh atau tidaknya hawalah, dhamman, dan syirkah ini.

C.  Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.    Pelimpahan Pembayaran Hutang
2.    Pengambil Alihan Hutang
3.    Perlakuan Dalam Syirkah























BAB II
PEMBAHASAN
HADIST-HADIST TENTANG HAWALAH, DHAMMAN, DAN SYIRKAH

A.  Pelimpahan Pembayaran Hutang (Hawalah)
Hadist:
حد ثنا عبد الله حد ثنى أ بى ثنا عبد الصمد و أبو سعيد المعنى قا لا ثنا زاء د ة عن عب دالله بن محمد بن عقيل عن جبر قا ل تو في رجل فغسلنا ه وحنطنا وكفنا ه ثم أ تينا به رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلى عليه فقلنا تصلى عليه فحطا خطى ثم قا ل أعليه دبن قلنا دينا ر ان فا نصرف فتحملحما أ بو قتا دة فأ تينا ه فقا ل أبو قتا دة الد ينا ر ان على فقا ل ر سو ل الله صلى الله عليه وسلم أ حق الغر يم ويرىْ منهما الميت قا ل نعم فصلى عليه ثم قا ل بعد ذلك يبوما فعل لدينا ران فقا ل انما ما ن أمس قا ل فعا د اليه من الغد فقال قد قضيتهما فقا ل رسو ل الله صلى الله عليه وسلم الا ن بردت عليه جلد ه فقا ل معا وية بن عمر وفي هذ االحد يث فغسلنا ه وقال فقلنا نصلى عليه.[1]

Terjemahan Hadist
“Dari Jabir, ia berkata: Telah wafat seorang dari pada kami, lalu kami mandikan dia dan kami kapasi dia, kemudian kami bawa dia kepada Rasulullah SAW, dan kami bertanya: apakah paduka tuan mau shalatkan dia? Lalu ia melangkah beberapa langkah kemudian ia bertanya: adakah hutang atasnya? Kami jawab: “dua dinar”, lalu ia berpaling. Maka Abu Qatadah tanggung (bayar) dua dinar itu, lantas kami datang kepadanya, lalu Abu Qatadah berkata: Dua dinar itu atas (tanggungan) saya. Sabdanya: “Betul-betul engkau tanggung dan terlepas dari padanya mayyit (ini)?” Ia jawab: Betul. Lalu ia shalatkan dia.[2]


Asbabul Wurud
Kata Jabir: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia. Kemudian kami mandikan, kami kafani dan kami bawa kepada Rasulullah SAW untuk dishalatkan. Rasulullah melangkah selangkah seraya berkata: “Apakah ia mempunyai hutang?”. Jawabku: “Dua dinar”. Maka pergilah Rasulullah. Kemudian Abu Qatadah melunasi hutangnya. Rasulullahpun menyalatkannya. Esok harinya Rasulullah bertanya: “Apakah telah kau terima yang dua dinar itu? Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya”.[3]

Syarahan Hadist
Dari hadist diatas dijelaskan bahwa apabila ada seorang muslim yang wafat, dan ia meninggalkan hutang, maka hutang yang dimiliki oleh orang yang meninggal tersebut dilimpahkan/dipindahkan kepada yang bertanggung jawab untuk membayarkan hutang tersebut.
Pelimpahan hutang/hawalah menurut bahasa berasal dari kata al-intiqal dan al-tahwil yang artinya memindahkan atau mengoperkan.
Sedangkan secara istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikannya, antara lain:
1.    Menurut ulama Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah: “memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berhutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula”.
2.    Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah adalah: “pemindahan hutang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3.    Syihab Al-Din Al Quyubi berpendapat hiwalah adalah “akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada orang lain”.
4.    Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hiwalah adalah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal alaih.
5.    Menurud Idris Ahmad hiwalah adalah semacam akad pemindahan dari tanggungan seseorang yang berhutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai hutang pula kepada yang memindahkannya.[4]

Dalam istilah Fiqh, hiwalah adalah perpindahan hak dan kewajiban yang dilakukan pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal’alaih) untuk menuntut pembayaran hutang atau membayar hutang dari atau pihak ketiga (muhal), karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama dan pihak pertama berhutang pada pihak kedua atau karena pihak pertama berhutang kepada pihak ketiga disebabkan pihak kedua berhutang pada pihak pertama.[5]

Rukun dan syarat hiwalah:
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara yang menghiwalkan dengan yang menerima hiwalah. Sedangkan syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah ialah:
1.    Orang yang memindahkan hutang (muhilf) dan menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang berakal
2.    Orang yang dihiwalkan (mahal ‘alaih) juga harus orang berakal dan diisyaratkan pula dia meridhainya
3.    Adanya hutang muhil kepada muhil alaih

Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada empat, yaitu:
1.    Muhil, yaitu orang yang memindahkan hutang
2.    Muhtal, yaitu orang yang mempunyai hutang kepada muhil
3.    Muhal ‘alaih, yaitu orang menerima hiwalah
4.    Shigat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: “aku hiwalkan hutangku yang hak bagi engkau kepada anu” dan Kabul dari muhtal dengan kata-katanya “aku terima hiwalah engkau”.[6]
Beban orang yang melakukan hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur, andai kata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal  tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.




B.  Pengambil Alihan Hutang (Dhamman)
Hadist:
حد ثنا يحي ابن بكير حد ثنا الليث عن عقيل عن ابن شها ب عن أبي سلمة عن أبي هريرة رضى الله عنه ان رسوا الله صلى الله عليه وسلم كا ن يؤ تى با لرجل المتوفى عليه الدين فيسأ ل هل ترك لد ينه فضلا فان حد ث انه ترك لد ينه وفا ء صلى وا لا قا ل للمسلمين صلواعلى صا حبكم فلما فتح الله عليه الفتوح قا ل ا نا اولى با لمؤ منين من انفسهم فمن توفى من المؤ منين فترك د ينا فعلى قضا ؤ ه ومن ترك ما لا فلورثته.[7]

Terjemahan Hadist:
Dari Abi Hurairah bahwasannya Rasulullah SAW biasanya dibawa kepadanya orang yang mati yang menanggung hutang, maka ia bertanya: Adakah ia tinggalkan apa-apa buat membayarnya? Jika dikatakan bahwa ia ada meninggalkan pembayarannya, ia shalatkan dia, dan jika tidak, ia bersabda: Shalatkanlah sahabat kamu. Tetapi setelah Allah beri kepadanya beberapa kemenangan, ia bersabda: Aku lebih hampir kepada mu’minin dari pada diri mereka, dari itu siapa-siapa yang mati meninggalkan hutang, maka aku tanggung membayarnya”.[8]

Asbabul Wurud
Dari sepanjang usaha pemakalah dalam mencari asbabul wurud hadist ini, pemakalah tidak menemukan asbabul wurudnya.

Syarahan Hadist
Hadist diatas menjelaskan tentang penanggungan hutang/pengambil alihan hutang, menurut ketentuan syari’at islam penanggungan hutang ini di istilahkan dengan “kafalah” (menggabungkan), “dhamman” (jaminan).
Menurut ketentuan syara’ kafalah/dhamman ini diartikan sebagai: proses penggabungan kafil menjadi tanggungan ashiil dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau hutang, atau barang atau pekerjaan.[9]



Syarat-syarat penanggungan hutang:
1.    Kafiil
Kafil adalah seseorang yang mempunyai kewajiban untuk melakukan penanggungan.
2.    Ashiil
Ashiil adalah orang yang mempunyai hutang, atau orang yang ditanggung.
3.    Makfullahu
Makfullahu adalah orang yang memberikan hutang, oang yang memberikan hutang disyaratkan harus dikenal oleh kafiil, hal ini dimaksudkan untuk kemudahan.
4.    Makfulfihi
Makfulfihi adalah sesuatu yang djadikan sebagai jaminan atau tanggungan dalam hal ini dapat berupa jaminan kebendaan atau jaminan perorangan.[10]

Dasar hukum Dhamman:
a.    Surat Yusuf ayat 66:
tA$s% ô`s9 ¼ã&s#Åöé& öNà6yètB 4Ó®Lym Èbqè?÷sè? $Z)ÏOöqtB šÆÏiB «!$# ÓÍ_¨Yè?ù'tFs9 ÿ¾ÏmÎ/ HwÎ) br& xÞ$ptä öNä3Î/ ( !$£Jn=sù çnöqs?#uä óOßgs)ÏOöqtB tA$s% ª!$# 4n?tã $tB ãAqà)tR ×@Ï.ur ÇÏÏÈ
.  Ya'qub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh". tatkala mereka memberikan janji mereka, Maka Ya'qub berkata: "Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)".







b.    Surat Ali-Imran ayat 37:
$ygn=¬6s)tFsù $ygš/u @Aqç7s)Î/ 9`|¡ym $ygtFt7/Rr&ur $·?$t6tR $YZ|¡ym $ygn=¤ÿx.ur $­ƒÌx.y ( $yJ¯=ä. Ÿ@yzyŠ $ygøŠn=tã $­ƒÌx.y z>#tósÏJø9$# yy`ur $ydyZÏã $]%øÍ ( tA$s% ãLuqöyJ»tƒ 4¯Tr& Å7s9 #x»yd ( ôMs9$s% uqèd ô`ÏB ÏZÏã «!$# ( ¨bÎ) ©!$# ä-ãötƒ `tB âä!$t±o ÎŽötóÎ/ A>$|¡Ïm ÇÌÐÈ
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

C.  Perlakuan Dalam Syirkah
Hadist:
حد ثنا محمد بن سليما ن المصيصي , حد ثنا محمد بن الزبرقا ن , عن أبي حيا ن التيمي , عن أ بيه , عن أ بي هريرة رفعه قا ل :(( ان الله تعلى يقو ل : أنا ثا لث الشر يكين م لم يخن أحد هما صا حبه , فاء ذا خا نه خرجت من بينهما.[11]  
Terjemahan Hadist:
“Dari Abi Hurairah ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: Allah Ta’ala telah berfirman: aku menigai dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak mengkhianati yang lainnya. Maka apabila ia berkhianat, aku keluar da antara mereka”.[12]
Asbabul Wurud
Dari sepanjang usaha pemakalah dalam mencari asbabul wurud hadist ini, pemakalah tidak menemukan asbabul wurudnya.

Syarahan Hadist
Hadist diatas menjelaskan tentang syirkah (kerjasama). Syirkah secara bahasa yaitu percampuran atau serikat.
Menurut beberapa ulama, ada beberapa macam defenisi syirkah diantaranya:
1.    Sayyid Sabiq mendefenisikan syirkah sebagai akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan
2.    Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib mendefenisikan syirkah sebagai ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara masyur (diketahui).[13]
3.    M. Syafi’I Anwar memdefenisikan syirkah sebagai perjanjian kesepakatan untuk menyertakan modalnya pada suatu proyek, yang biasanya berjangka waktu panjang. Resiko rugi atau laba dibagi secara berimbang dengan penyertaannya.[14]
Dari beberapa defenisi diatas dapat kita lihat bahwa syirkah/serikat pada dasarnya merupakan suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk mendirikan suatu usaha, yang mana modal usaha merupakan modal bersama melalui pernyataan modal oleh masing-masing pihak.

Dasar hukum syirkah
Adapun dasar hukum syirkah antara lain:
1.    Surat Shaad ayat 24, yang berbunyi:
قا ل ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt 4n?tã CÙ÷èt žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ߊ¼ãr#yŠ $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çm­u §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ

 Artinya: “Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat”.






2.    Surat An-Nisa’ ayat 12 yang berbunyi:
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2  Æßgs9 Ó$s!ur ãNà6n=sù ßìç9$# $£JÏB z`ò2ts? 4 .`ÏB Ï÷èt 7p§Ï¹ur šúüϹqム!$ygÎ ÷rr& &úøïyŠ 4  Æßgs9ur ßìç9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ós9ur 4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts? 4 .`ÏiB Ï÷èt 7p§Ï¹ur šcqß¹qè? !$ygÎ ÷rr& &ûøïyŠ 3 bÎ)ur šc%x. ×@ã_u ß^uqム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé& Èe@ä3Î=sù 7Ïnºur $yJßg÷YÏiB â¨ß¡9$# 4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# 4 .`ÏB Ï÷èt 7p§Ï¹ur 4Ó|»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ uŽöxî 9h!$ŸÒãB 4 Zp§Ï¹ur z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÎ=ym ÇÊËÈ

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.


Para ahli hukum islam telah sepakat untuk mengemukakan bahwa serikat ini boleh didalam ketentuan islam.[15]
Rukun dan syarat sah syirkah
Adapun yang menjadi rukun serikat menurut ketentuan syariat islam adalah:
a.    Sighat (lafaz akad)
b.    Orang (pihak-pihak yang mengadakan serikat)
c.    Pokok pekerjaan (bidang usaha yang dijalankan).
Adapun syarat-syarat orang yang mengadakan shigat itu adalah:
a.    Orang berakal
b.    Baligh
c.    Dengan kehendaknya sendiri.

Sedangkan mengenai barang modal yang disertakan dalam serikat hendaklah berupa:
a.    Barang modal yang dapat dihargai
b.    Modal yang disertakan oleh masing-masing persero dijadikan satu.[16]
Macam-macam syirkah
Secara garis besar dalam islam, syirkah dibedakan kepada dua bentuk, yaitu:
a)   Syirkah amlak
Adalah beberapa orang memiliki modal secara bersama-sama sesuatu barang, pemilikan secara bersama sesuatu barang, pemilikan secara bersama-sama atas suatu barang tersebut bukan disebabkan adanya perjanjian diantara pihak, misalnya pemilikan harta secara bersama-sama yang disebabkan karena pewarisan.
b)   Syirkah uqud
Disebabkan para pihak memang sengaja melakukan perjanjian untuk bekerja bersama dalam suatu kepentingan harta dan didirikannya serikat tersebut bertujuan memperoleh keuntungan dalam harta benda.
Menurut fuqaha amshar, syirkah dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1.    Syirkah ‘inan
2.    Syirkah muwafadhah
3.    Syirkah abdan
4.    Syirkah wujuh[17]

Syarat-syarat syirkah menurut hanafiyah dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a.       Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam jhal ini terdapat dua syarat yaitu yang berkenaan dengan benda yang di akadkan adalah harus dapatditerima sebagai perwakilan, dan yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah, sepertiga dan yang lainnya.
b.      Sesuatu yang bertalian dengan syirkah harta, dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus di penuhi yaitu bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran, seperti riyal dan rupiah dan yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
c.       Sesuatu yang bertalian dengan syirkah muwafadhah, bahwa dalam muwahadhah disyaratkan modal dalam syirkah muwafadhah harus sama, bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah, dan bagi yang dijadikan objek akad diisyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
d.      Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat syirkah muwafadhah.

Cara membagi keuntungan atau kerugian tergantung besar dan kecilnya modal yang mereka tanamkan. Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:
a.       Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
b.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharuf (keahlian mengelola harta), baik karena gila ataupun karena alasan lainnya.
c.       Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang yang batal hanya yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
d.      Salah satu pihak ditaruh dibawah penampunan, baik karena boros yang terjadi padawaktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sifat yang lainnya.
e.       Sebab salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bengkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan bersangkutan.
f.       Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi pertempuran yang tidak bias dipisah-pisahkan lagi, menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi yang terjadi setelah dibelanjakan, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.










BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hadist diatas adalah:
1.    Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan
2.    Syirkah adalah pencampuran atau keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang di tetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan dan kerugian dalam bagian yang ditentukan

B.  Saran
Dari makalah yang penulis buat ini, maka penulis menyarankan agar mempelajari secara benar mengenai hadist tentang hawalah, dhamman dan syirkah, yang tujuannya adalah untuk menjadi pedoman bagaimana cara pelimpahan pembayaran hutang, pengambil alihan hutang dan syirkah dalam kehidupan sehari-hari.


















DAFTAR PUSTAKA


Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqh Para Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007
Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, Jilid 3
A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: CV. Diponegoro, 1988
Shahih Bukhari, Kitab Kafalah, Bab Ad-Dayni, Jilid 3
Chairuman Pasaribu & Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004
Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud 2, Jakarta: Kalam Mulia, 2004
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008
Kitab Sunan Abi Daud, Bab Buyu’, No 26, Jilid 3
















       Kesimpulan Hasil Diskusi
1.      Hawalah yang berjalan sah seperti apa ?
 Sebelum menjelaskan hal diatas, terlebih dahulu dijelaskan apa itu hawalah. Hawalah adalah pemindahan hutang dari orang yang berhutang ke orang lain atau dari A ke B, dikarenakan dikarenakan orang tersebut wafat atau karena hal yang lain.
Jadi hawalah yang berjalan sah itu adalah apabila seseorang atau orang yang mau menanggung hutang telah bersedia menanggung pelimpahan hutang dari orang yang tidak bisa membayar hutang (sudah wafat)
2.      Contoh hadits pengambil alihan hutang ?
Misalnya ada seseorang yang berhutang meninggal, terus dibawa kepada Nabi, lalu nabi menanyakan apakah ia mempunyai apa-apa untuk membayarnya. Jika ada, maka shalatkan, jika tidak nabi berkata mari sama-sama sekarang. Kalau tidak ada maka nabi langsung yang menanggungnya.
3.      Usaha yang dimaksudkan syirkah
-          Syirkah Inan yaitu bekerja sama dalam modal, maksudnya hanya dalam modal saja bekerja sama, sedangkan masalah pekerjaannya disuruh orang lain melakukan.
-          Syirkah Abdan yaitu bekerja sama dalam pekerjaan maksudnya seseorang bekerja sebagai penyapu di sebuah perusahaan lalu dating temannya, maka orang ini mengajak lalu dating temannya, maka orang ini mengajak temannya untuk bekerja bersamanya, maka hasil dari pekerjaannya tersebut dibagi dua.
4.      Kadar hutang yang di hiwalahkan
Menurut pendapat kami kadar hutang yang di hiwalahkan itu sesuai dengan kesepakatan antara orang yang berhutang dengan orang yang mau menerima/menanggung orang yang berhutang. Hal ini jika orang tersebut masih hidup. Sedangkan orang yang berhutang tersebut sudah meninggal maka kadarnya hutang yang di hiwalahkannya semua hutangnya.
5.      Maksud kalimat shalatkanlah sahabat kamu Dalam hadits pengambil alihan hutang
Nabi  mengajak kepada saudara saudara-saudaranya untuk menshalatkannya bersama-sama atau disegerakan menshalatkannya untuk itu kalu ada yang menganggu si mayyit maka diselesaikan secepatnya.
6.      Jika yang bersyirkah meninggal batal ikatan. Apa maksudnya ?
Karena syirkah ini adalah kerjasama antara dua orang atau lebih. Kalau yang satu sudah meninggal maka syirkah tidak bias dilakukan maka putuslah atau batal ikatan syirkahnya.
7.      Penjelasan syirkah dan apa hubungannya dengan hadits
Syirkah merupakan kerjasama antara dua orang atau lebih dalam berusaha yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Penanaman modal dilakukan bersama. Syirkah berakhir apabila salah satu pihak tidak mau bekerjasama lagi.
Hubungannya dengan hadit yaitu karena hadits yang dibuat adalah hadits bekerjasama dalam peperangan maka hubungannya yaitu sama-sama mengumpulkan harta rampasan perang tetapi setelah di nasahkan oleh Q.S al-Anfal ayat 1, maka hadits ini tidak dipakai lagi, jadi kami mencari hadits yang lain.
8.      Orang yang menanggung hutang tetapi ia meninggal dan ia berhutang juga, siapa yang wajib membayar hutang orang yang ditanggung oleh yang meninggal ?
Yang wajib membayar hutang semuanya adalah pihak ahli waris orang yang meninggal yang terakhir dikarenakan ia telah berjanji akan membayar hutang orang yang meninggal pertama.
9.      Maksud hadits pengambil alihan hutang
-          Membayar hutang itu wajib.
-          Yang paling wajib membayar hutang adalah nabi, karena nabi pemimpinnya.
-          Nabi member peluang kepada orang untuk membayar hutang, agar mendapat syafaat di akhirat karena telah membantu meringankan kesusahan orang lain.
-          Dianjurkan kepada ahli waris untuk tidak melepaskan mayit dalam berhutang.


[1]Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal, Jilid 3, hlm 330
[2]A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), hlm 441
[3] Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud 2, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm 251-252
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm 99-101
[5] Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm 117
[6] Op. Cit, Hendi Suhendi, hlm 101-102
[7]Shahih Bukhari, Kitab Kafalah, Bab Ad-Dayni, Jilid 3, hlm 59-60
[8] Op.Cit, A. Hassan, hlm 442
[9] Chairuman Pasaribu & Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm 148
[10] Ibid, hlm 149-150
[11] Kitab Sunan Abi Daud, Bab Buyu’, No 26, Jilid 3, hlm 226
[12] Op.Cit, A.Hassan, hlm 443
[13] Op.Cit, Hendi Suhendi, hlm 76
[14]Op.Cit,  Chairuman Pasaribu & Suhrawadi K. Lubis , hlm 74
[15]Ibid, hlm 75-76
[16]Ibid, hlm 76

[17]Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqh Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm 143

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Anonim,, salamkenal,,ia sama2, terimakasih juga telah mampir di blognya..:)

      Hapus