Jumat, 19 Oktober 2012

Nilai-Nilai Edukasi Dari Ibadah



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Agama  Islam  adalah  agama  yang  rahmatal  lilalamin,  yang  mempunyai  syariat  yang  harus dilaksanakan  oleh  pemeluknya.  Ajaran  Islam  disyariatkan karena mengandung banyak hikmah bagi manusia. Semua makhluk dan kejadian yang diciptakakan oleh Allah swt pasti ada hikmahnya,  tidak ada perintah dan ciptaan  Allah  yang  sia-sia. semuanya mengandung hikmah meskipun mungkin diantara hikmah-hikmah tersebut belum dapat  terungkap  oleh manusia.
Allah menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Di dalam ibadah kita dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya baik itu nilai pendidikan, moral, aqidah, keimanan, dan lain-lain. Tujuan pendidikan Islam adalah mendidik manusia untuk beribadah kepada Allah swt, membentuk manusia bertaqwa kepada-Nya, serta mendidik manusia agar memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam ibadah.
Nilai dalam hal ini adalah konsep yang berupa ajaran-ajaran Islam, dimana ajaran Islam itu sendiri merupakan seluruh ajaran Allah yang bersumber Al-Qur’an dan Sunnah yang pemahamannya tidak terlepas dari pendapat para ahli yang telah lebih memahami dan menggali ajaran Islam. Peran ibadah dalam mendidik manusia agar menjadi manusia yang berakal berfikir sistematis dan menggunakan pikirannya secara terus menerus yang merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan sebagai media mendidik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nilai dan Edukasi Ibadah
Nilai adalah merupakan sesuatu yang dianggap berharga dan menjadi tujuan yang hendak dicapai. Nilai secara praktis merupakan sesuatu yang bermanfaat  dan berharga  dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat dua nilai dalam Islam yaitu nilai Illahiyah dan nilai Insaniyah. Nilai Ilahiyah merupakan nilai yang erat kaitannya dengan ketuhanan. Sedangkan nilai insaniyah berkaitan dengan kemanusiaan. Keduanya berhubungan dengan tingkah laku manusia.
Pendidikan ibadah adalah proses pendidikan yang mengajarkan kepada  seorang anak harus menjalankan rukun Islam pada khususnya dan seluruh ajaran Islam pada umumnya. Sehingga menjadi hamba Tuhan yang taat.
Adapun pengertian nilai-nilai edukasi dari ibadah adalah memetik dan memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam ibadah sebagai pendidikan hidup, mengajarkan kepada manusia bagaimana memahami hikmah dari ibadah tersebut.
B.  Macam-Macam Nilai Edukasi dari Ibadah
Adapun macam-macam nilai edukasi dari ibadah yaitu mencukup semua ibadah pada umumnya, tetapi kami khususkan terhadap rukun Islam yang kelima, yaitu: shalat, puasa, zakat, dan haji. Berikut ini kami jelaskan satu persatu.
1.   Nilai-Nilai Edukasi dari Shalat
Nilai pendidikan ibadah bagi anak akan membiasakannya melaksanakan kewajiban. Pendidikan yang diberikan luqman pada anaknya merupakan contoh baik bagi orang tua. Luqman menyuruh anak-anaknya shalat ketika mereka masih kecil dalam Al Qur’an Allah swt berfirman :
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. (QS. Luqman : 17)
Dari ayat tersebut, Luqman menanamkan nilai-nilai pendidikan ibadah kepada anak-anaknya sejak dini. Dia bermaksud agar anak-anaknya mengenal tujuan hidup manusia, yaitu menghambakan diri kepada Allah swt. bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah swt. Apa yang dilakukan luqman kepada anak-anaknya bisa dicontoh orang tua zaman sekarang ini.  Rasulullah saw. memberikan tauladan pada umatnya tentang nilai pendidikan ibadah. Beliau mengajarkan anak yang berusia tujuh tahun harus sudah dilatih shalat dan ketika berusia sepuluh tahun mulai disiplin shalatnya sabda Nabi saw.
Rasulullah saw bersabda : “Suruhlah anak-anak kalian berlatih shalat sejak mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkan shalat pada usia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka (sejak usia 10 tahun)”. (HR. abu dawud).
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam shalat diantaranya:
a.    Shalat diawali dengan bersuci
        Hal ini tentunya mendidik kita agar senantiasa menjaga kesucian fitrah kita sebagai manusia dan mengingatkan kita bahwa Allah adalah dzat yang Maha Suci yang hanya menerima hamba-Nya yang suci untuk menghadap kepada-Nya.
b.   Shalat mendidik untuk berlaku jujur
        Dalam shalat, apabila ia buang angin yang tidak tertahankan pada saat shalat, tentunya  seseorang akan berhenti dari shalatnya dan mengulang lagi shalat-nya, karena kita semua tahu, buang angin pada saat shalat adalah hal yang membatalkan shalat. Berlaku jujur pada diri sendiri. Tentunya, berlaku jujur tidak hanya pada saat shalat, tetapi yang  perlu menjadi perhatian adalah mewujudkan perilaku jujur pada saat setelah shalat. Berlaku jujur dalam setiap perilaku, dalam setiap keadaan, baik dalam berbicara, dalam berdagang,  dan dalam seluruh aspek kehidupan kita.
c.    Shalat diakhiri salam ke kanan dan ke kiri
            Ucapan salam mengandung do’a.  Dan pada saat kita mengakhiri shalat, kita mendo’akan mereka yang ada di kanan dan kiri kita. Salah satu makna dari hal ini adalah, sebagaimana sabda rasulullah :
“Seorang muslim sejati adalah ketika manusia selamat dari lisan dan tangannya, dan mu’min sejati, adalah ketika manusia merasa aman darinya atas harta dan darahnya” (HR. Ahmad)
Artinya, seseorang yang mengakhiri salam dalam shalatnya, hendaknya menegakkan do’a yang ia setelah selesai melaksanakan shalat.  Sebagaimana sabda Rasulullah saw, maka ia tidak akan mencelakakan orang lain dengan lisan dan tangannya.
d.   Wujud terhadap nilai keikhlasan kepada Allah swt
Keikhlasan kepada Allah, tidak hanya tertanam dalam qolbu seseorang, yang lebih penting lagi adalah mewujudkannya dengan melakukan shalat. Ikhlas mengajarkan kepada kita untuk mencapai kesuksesan hakiki,  kesuksesan yang  abadi, dan kesuksesan  dalam pandangan Allah swt.
2.   Nilai-Nilai Edukasi dari Puasa
Nilai-nilai edukasi puasa yang berbasis ajaran Islam yang selanjutnya panduan hidup dan akan berimplikasi besar terhadap perbaikan moral pribadi, bangsa, kelangsungan hidup dan krhidupan manusia.
a.     Nilai pemeliharaan jiwa Tauhid yang ada di dalam diri setiap orang
 Melalui ibadah puasa pada bulan ramadhan, Allah melakukan penyadaran total kepada setiap hamba-Nya. Dalam salah satu ayat al-Qur’an kita telah diberitahu bahwa dalam diri kalian ada unsur fitrah, yang dengannya kalian perlu menyadari bahwa diri kalian diciptakan oleh Allah, berada dalam genggaman kekuasaan Allah, dan pada saatnya akan kembali jua kepada-Nya.
Fitrah yang ada di dalam setiap individu merupakan factor dasar dan dominan dimana seseorang yakin bahwa ada Yang Maha Menguasai alam, yaitu Allah SWT. Unsur utama yang terkandung dalam fitrah itulah yang kita sebut iman. “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus (QS. Ar-Rum;30).
Atas dasar iman kepada Allah, seseorang akan selalu dan terus termotivasi untuk melakukan perubahan yang bernilai kebaikan. Kebaikan yang dimaksud adalah semua pikiran, perbuatan yang baik menurut Allah SWT dan baik pula bagi pelakunya.
b.      Nilai historia puasa
            Sejarah berfungsi untuk dijadikan sebagai unsure ‘ibrah atau pembelajaran yang amat berharga bagi setiap orang, baik sebagai individu maupun sosial.
            Sejarah puasa yang terungkap sebelum periode kerasulan Muhammad saw, misalnya riwayat diri ibunda Isa as, Maryam berkata “sesungguhnya aku telah bernazar akan berpuasa karena Allah Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” (Q.S Maryam: 26). Demikian pula riwayat Nabi Zakaria as. Zakaria di beri tanda-tanda oleh Allah swt dengan cara tidak mampu berbicara selama tiga malam. Zakaria dalam do’anya ia menyatakan “ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda”, Allah berfirman “Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat” (QS. Maryam:10). Boleh jadi dari kedua kasus diatas, Maryam dan Nabi Zakaria as, di didik oleh Allah swt untuk selalu menjaga lidah agar tidak sembarang berbicara, ngawur, mengungkapkan perkataan yang tidak berbobot atau tidak berkualitas.
            Beda halnya dengan puasa nabi Daud as. Puasa yang dijalani oleh beliau puasa hari ini kemudian besoknya tidak atau puasa selang sehari. Boleh jadi setiap hari kehidupan nabi Daud as dikehendaki Allah swt agar jangan sampai terkontaminasi atau ternoda oleh ungkapan dan hal-hal tidak suci.
c.    Nilai ketaqwaan kepada Allah swt
        Taqwa adalah tujuan utama puasa. Taqwa harus menjadi pakaian kita dalam menjalani kehidupan duniawi ini. Puasa wajib ramadhan merupakan upaya Allah swt mendidik hamba-Nya untuk memasuki fase kehidupan yang tidak bergantung kepada materi, melainkan kepada-Nya semata.
d.   Nilai imsak
        Yang berarti suatu fase dimana seseorang yang mau berpuasa mulai menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Nilai dan filosofi sangat tinggi dimana seseorang mulai mampu menahan diri untuk tidak melakukan segala hal yang memungkinkan mengurangi dan membatalkan berpuasa.
        Nilai imsak ini mendidik manusia untuk melatih kesabaran untuk menahan diri selama berpuasa. Sebagaimana firman Allah swt: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar:10).
e.    Nilai ihtisaban (intropeksi diri)
        Sabda Nabi saw: “Barangsiapa berpuasa penuh keimanan dan intropeksi diri, maka diampuni segala dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhari Muslim).
        Nilai ihtisaban ini mendidik manusia untuk adanya kemauan dan kemampuan untuk melihat dan mengetahui kekurangan diri sendiri akan melahirkan sikap rendah hati (tawadhu’) dan jujur (shiddiq) sekaligus menjauhi sikap yang angkuh dan khianat.
f.    Nilai qiyam al-layl (shalat tarawih)
        Setiap malam ramadhan umat Islam disunnahkan untuk beramai-ramai mendatangi tempat ibadah untuk melaksanakan shalat tarawih.
        Melalui shalat tarawih, manusia di didik dalam suasana kekeluargaan, rasa persaudaraan serta rasa kesetaraan di hadapan Allah swt. Setiap orang Islam bergegas untuk mendatangi tempat Ibadah dengan pakaian bagus, rapi, kemudian saling menyapa satu sama lain dengan penuh senyum rasa hormat antar sesama Muslim.
3.   Nilai-Nilai Edukasi dari Zakat
Konsep zakat menurut Islam adalah suatu kewajiban bagi orang kaya yang hartanya sudah waktunya untuk dizakati (sudah satu nisab), yang diberikan oleh sikaya kepada simiskin dengan syarat-syarat yang ditentukan, sebagai bentuk rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka. Adapun nilai-nilai edukasi dari ibadah shalat adalah:
a.    Nilai takwa
        . Seseorang itu mensikapi akan perintah Allah untuk mengeluarkan zakat, karena harta yang dicintai harus dikeluarkan sebagian. Dengan dikeluarkan zakat, seseorang di didik dapat lebih senantiasa bertakwa kepada Allah swt.
b.   Nilai ukhuwah
        Perasaan persaudaraan yang benar melahirkan perasaan yang mulia didalam jiwa muslim untuk membentuk sikap-sikap sosial yang positif, seperti tolong-menolong, mengutamakan orang lain, kasih sayang dan pemberian maaf serta menjauhi sifat-sifat negatif. Manusia adalah bersaudara antara satu dengan yang lain, seseorang bisa dikatakan memahami hakekat persaudaraan apabila seseorang menyadari kewajibannya sebagai saudara, yaitu saling menolong orang miskin membutuhkan bantuan harta benda orang kaya, sementara orang kaya yang mempunyai rasa spiritual keimanan akan merasa berkewajiban untuk memberikan zakat sebagai hak bagi orang-orang miskin.
c.    Nilai solidaritas sosial
        Bahwa dalam masyarakat manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian tetapi saling membutuhkan dengan jalan itu diharapkan saling membantu, sehingga ada balance (keseimbangan) dalam masyarakat. Dalam kontek solidaritas sosial ini zakat sebagai kunci untuk berbicara bahwasanya kalau sikaya bisa berkembang mengapa simiskin tidak bisa berkembang, maka dengan ditanamkan nilai solidaritas sosial, sikaya merasa senasib sepenanggungan dengan simiskin yang dalam hal ini diimplementasikan dengan mengeluarkan zakat, karena itulah bentuk rasa solidaritas yang harus ditunjukan oleh kaum muslim. Dengan demikian maka akan tercipta solidaritas yang tinggi dalam masyarakat.
d.   Nilai keadilan
        Pada dasarnya manusia adalah sama dihadapan Allah yang membedakan hanyalah derajat ketakwaan seseorang, oleh karena itu tidak ada perbedaan antara sikaya dan simiskin. Maksudnya adalah bagaimana seorang paham akan kebersamaan, sehingga memberikan kesempatan bagi simiskin untuk bisa bangkit dengan cara memberikan bantuan (zakat/modal) sebagai modal usahanya, walaupun kenyataannya perbedaan simiskin dan kaya dalam hal harta itu tidak bisa dihilangkan.
4.   Nilai-Nilai Edukasi dari Haji
Ibadah haji adalah membuat keputusan untuk mengunjungi tempat yang suci. Disebut demikian karena kaum muslimin minimal sekali seumur hidupnya sedapat mungkin membuat keputusan untuk mengunjungi tanah suci, khususnya mekkah dan sekitarnya guna menunaikan rukin islam yang kelima.
Dalam melaksanakan ibadah haji, terkandung banyak nilai – nilai pendidikan didalamnya. Bila kita melihatnya dari sisi pelaksanaan haji itu sendiri, maka kita dapat menagkap nilai pendidikan dari istilah – istilah penting dalam haji, diantaranya:
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut Alqur’an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Itulah makanya, di Miqat, tempat di mana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa berada dalam satu kesatuan dan persamaan. Dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih – putih, sebagaimana yang akan yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini. Seseorang yang melaksanakan ibadah haji akan dipengaruhi jiwanya oleh pakaian ini, ia juga seharusnya juga merasakan kelemahan dan merasakan keterbatasannya serta pertanggung jawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, yang di sisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain, kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah :Barang siapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia beramal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannnya.” (QS. Al-Kahfi, 110).
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Misalnya, larangan menyakiti binatang, membunuh, menumpahkan darah, dan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Tidak diperbolehkan juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap peserta haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata, pun bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
Ketiga, Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana, misalnya, ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya adalah pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail a.s. putra Ibrahim a.s., pembangun Ka’bah ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam yang miskin dan bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu. Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana dan peninggalannya diabadikan untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepadaNya dan usahanya untuk berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.
Keempat, setelah selesai melakukan tawaf yang menjadikan pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia lain, serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah SWT, dilakukanlah sa’i. Di sini muncul lagi Hajar, wanita bersahaja yang diperistri Nabi Ibrahim a.s. itu, diperagakan pengalamannya mencari air untuk putranya. Keyakinan wanita ini akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh. Terbukti, jauh sebelum peristiwa pencaharian ini, ketika ia bersedia ditinggal (Ibrahim) bersama anaknya di suatu lembah yang tandus, keyakinannya yang begitu dalam tak menjadikannya sama sekali berpangku tangan menunggu turunnya hujan dari langit, tapi ia berusaha dan berusaha berkali-kali mondar-mandir demi mencari air. Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang arti harfiahnya adalah “kesucian dan ketegaran” - sebagai lambang bahwa mencapai kehidupan harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran - dan berakhir di Marwa yang berarti “ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang lain.”
Kalau tawaf menggambarkan larut dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, atau dalam istilah kaum sufi al-fana’ fi-Allah, maka sai’ menggambarkan usaha manusia mencari hidup. Thawaf dan sa’i melambangkan bahwa kehidupan dunia dan akhirat merupakan sutu kesatuan dan keterpaduan. Dengan tawaf, disadarilah tujuan hidup manusia. Sedangkan ditunaikannya sa’i menggambarkan tugas manusia sebagai “upaya semaksimal mungkin.” Hasil usaha pasti akan diperoleh baik melalui usahanya maupun melalui anugerah Allah, seperti yang dialami Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zam Zam itu. Sebagaimana Allah berfirman :Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi” ((QS Al- Qashash : 77).
Kelima, wukuf di Arafah. Di padang yang luas lagi gersang itu seluruh jamaah wuquf (berhenti) sampai terbenamnya matahari. Di sanalah manusia seharusnya menemukan makrifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya. Di sana pula ia mesti menyadari langkah-langkahnya selama ini, sebagaimana ia menyadari pula betapa besar dan agung Tuhan yang kepadaNya bersimpuh seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan dalam ritual thawaf di padang tersebut.
Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang Arafah untuk menjadi ‘arif atau sadar dan mengetahui. Ia tak akan mengintip-ngintip kelemahan atau mencari-cari kesalahan orang, ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun karena jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.
Keenam, dari Arafah para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan senjata menghadapi musuh utama yaitu setan. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah para Jamaah haji secara simbolis melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya.
Salah satu bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai pendidikan bagi manusia adalah isi khutbah Nabi Muhammad SAW pada haji wada’ (haji perpisahan) yang intinya menekankan: persamaan; keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      Nilai adalah merupakan sesuatu yang dianggap berharga dan menjadi tujuan yang hendak dicapai. Nilai secara praktis merupakan sesuatu yang bermanfaat  dan berharga  dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan ibadah adalah proses pendidikan yang mengajarkan kepada  seorang anak harus menjalankan rukun Islam pada khususnya dan seluruh ajaran Islam pada umumnya. Sehingga menjadi hamba Tuhan yang taat.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam shalat adalah: shalat diawali dengan bersuci, shalat mendidik untuk berlaku jujur, shalat diakhiri salam ke kanan dan ke kiri, wujud terhadap nilai keikhlasan kepada Allah swt. Nilai-nilai edukasi ibadah puasa diantaranya: nilai pemeliharaan jiwa Tauhid yang ada di dalam diri setiap orang, nilai historia puasa, nilai ketaqwaan kepada Allah swt, nilai imsak, nilai ihtisaban (intropeksi diri), nilai qiyam al-layl (shalat tarawih). Nilai-nilai edukasi zakat adalah: nilai takwa, nilai ukhuwah, nilai solidaritas sosial, dan nilai keadilan. Nilai-nilai pendidikan dalam ibadah haji adalah:  ketika niat ihram dan mengenakan pakaian ihram, melaksanakan tawaf, sa’i, wukuf, dan melempar jumroh.
B.  Kritik dan Saran
        Tiada kesempurnaan di dunia ini, kami sangat mengharapkan kritik maupun saran dari makalah ini tujuannya hanyalah demi kesempurnaan. Dan semoga makalah yang telah kami susun bermanfaat bagi kita semua, Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Jakarta: Pustaka Amami, 1999.
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Abu Ahmadi, Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Mahmud, Tedi Priatna, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Sahifa, 2005.
luluvikar.files.wordpress.com/2011/05/skripsi-tuti.pdf.
adjhis.wordpress.com/2011/06/menggapai-nilai-edukasi-ibadah-ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar