BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Agama Islam
adalah agama yang
rahmatal lilalamin, yang
mempunyai syariat yang
harus dilaksanakan oleh pemeluknya.
Ajaran Islam disyariatkan karena mengandung banyak hikmah
bagi manusia. Semua makhluk dan kejadian yang diciptakakan oleh Allah swt pasti
ada hikmahnya, tidak ada perintah dan
ciptaan Allah yang
sia-sia. semuanya mengandung hikmah meskipun mungkin diantara
hikmah-hikmah tersebut belum dapat
terungkap oleh manusia.
Allah
menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Di dalam ibadah kita
dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya baik itu nilai
pendidikan, moral, aqidah, keimanan, dan lain-lain. Tujuan pendidikan Islam
adalah mendidik manusia untuk beribadah kepada Allah swt, membentuk manusia
bertaqwa kepada-Nya, serta mendidik manusia agar memahami nilai-nilai yang
terkandung di dalam ibadah.
Nilai
dalam hal ini adalah konsep yang berupa ajaran-ajaran Islam, dimana ajaran
Islam itu sendiri merupakan seluruh ajaran Allah yang bersumber Al-Qur’an dan
Sunnah yang pemahamannya tidak terlepas dari pendapat para ahli yang telah
lebih memahami dan menggali ajaran Islam. Peran ibadah dalam mendidik manusia
agar menjadi manusia yang berakal berfikir sistematis dan menggunakan pikirannya
secara terus menerus yang merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan
sebagai media mendidik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nilai dan Edukasi Ibadah
Nilai
adalah merupakan sesuatu yang dianggap berharga dan menjadi tujuan yang hendak
dicapai. Nilai secara praktis merupakan sesuatu yang bermanfaat dan berharga
dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat dua nilai dalam Islam yaitu nilai
Illahiyah dan nilai Insaniyah. Nilai Ilahiyah merupakan nilai yang erat
kaitannya dengan ketuhanan. Sedangkan nilai insaniyah berkaitan dengan kemanusiaan.
Keduanya berhubungan dengan tingkah laku manusia.
Pendidikan
ibadah adalah proses pendidikan yang mengajarkan kepada seorang anak harus menjalankan rukun Islam
pada khususnya dan seluruh ajaran Islam pada umumnya. Sehingga menjadi hamba
Tuhan yang taat.
Adapun
pengertian nilai-nilai edukasi dari ibadah adalah memetik dan memahami
nilai-nilai yang terkandung di dalam ibadah sebagai pendidikan hidup,
mengajarkan kepada manusia bagaimana memahami hikmah dari ibadah tersebut.
B.
Macam-Macam
Nilai Edukasi dari Ibadah
Adapun
macam-macam nilai edukasi dari ibadah yaitu mencukup semua ibadah pada umumnya,
tetapi kami khususkan terhadap rukun Islam yang kelima, yaitu: shalat, puasa,
zakat, dan haji. Berikut ini kami jelaskan satu persatu.
1. Nilai-Nilai
Edukasi dari Shalat
Nilai
pendidikan ibadah bagi anak akan membiasakannya melaksanakan kewajiban.
Pendidikan yang diberikan luqman pada anaknya merupakan contoh baik bagi orang
tua. Luqman menyuruh anak-anaknya shalat ketika mereka masih kecil dalam Al Qur’an
Allah swt berfirman :
Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. (QS. Luqman : 17)
Dari
ayat tersebut, Luqman menanamkan nilai-nilai pendidikan ibadah kepada
anak-anaknya sejak dini. Dia bermaksud agar anak-anaknya mengenal tujuan hidup
manusia, yaitu menghambakan diri kepada Allah swt. bahwa sesungguhnya tidak ada
Tuhan yang patut disembah selain Allah swt. Apa yang dilakukan luqman kepada
anak-anaknya bisa dicontoh orang tua zaman sekarang ini. Rasulullah saw. memberikan tauladan pada
umatnya tentang nilai pendidikan ibadah. Beliau mengajarkan anak yang berusia
tujuh tahun harus sudah dilatih shalat dan ketika berusia sepuluh tahun mulai disiplin
shalatnya sabda Nabi saw.
Rasulullah
saw bersabda : “Suruhlah anak-anak kalian
berlatih shalat sejak mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika
meninggalkan shalat pada usia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka
(sejak usia 10 tahun)”. (HR. abu dawud).
Nilai-nilai
pendidikan yang terkandung di dalam shalat diantaranya:
a. Shalat
diawali dengan bersuci
Hal ini tentunya mendidik kita agar
senantiasa menjaga kesucian fitrah kita sebagai manusia dan mengingatkan kita
bahwa Allah adalah dzat yang Maha Suci yang hanya menerima hamba-Nya yang suci
untuk menghadap kepada-Nya.
b. Shalat
mendidik untuk berlaku jujur
Dalam shalat, apabila ia buang angin
yang tidak tertahankan pada saat shalat, tentunya seseorang akan berhenti
dari shalatnya dan mengulang lagi shalat-nya, karena kita semua tahu, buang
angin pada saat shalat adalah hal yang membatalkan shalat. Berlaku jujur pada
diri sendiri. Tentunya, berlaku jujur tidak hanya pada saat shalat, tetapi yang
perlu menjadi perhatian adalah mewujudkan perilaku jujur pada saat
setelah shalat. Berlaku jujur dalam setiap perilaku, dalam setiap keadaan, baik
dalam berbicara, dalam berdagang, dan dalam seluruh aspek kehidupan kita.
c. Shalat
diakhiri salam ke kanan dan ke kiri
Ucapan salam mengandung do’a.
Dan pada saat kita mengakhiri shalat, kita mendo’akan mereka yang ada di kanan
dan kiri kita. Salah satu makna dari hal ini adalah, sebagaimana sabda
rasulullah :
“Seorang muslim sejati adalah ketika manusia selamat
dari lisan dan tangannya, dan mu’min sejati, adalah ketika manusia merasa aman
darinya atas harta dan darahnya” (HR. Ahmad)
Artinya,
seseorang yang mengakhiri salam dalam shalatnya, hendaknya menegakkan do’a yang
ia setelah selesai melaksanakan shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw,
maka ia tidak akan mencelakakan orang lain dengan lisan dan tangannya.
d.
Wujud terhadap nilai keikhlasan
kepada Allah swt
Keikhlasan kepada Allah, tidak hanya tertanam dalam qolbu seseorang,
yang lebih penting lagi adalah mewujudkannya dengan melakukan shalat. Ikhlas
mengajarkan kepada kita untuk mencapai kesuksesan hakiki, kesuksesan
yang abadi, dan kesuksesan dalam pandangan Allah swt.
2. Nilai-Nilai
Edukasi dari Puasa
Nilai-nilai
edukasi puasa yang berbasis ajaran Islam yang selanjutnya panduan hidup dan
akan berimplikasi besar terhadap perbaikan moral pribadi, bangsa, kelangsungan
hidup dan krhidupan manusia.
a. Nilai
pemeliharaan jiwa Tauhid yang ada di dalam diri setiap orang
Melalui ibadah puasa pada bulan ramadhan,
Allah melakukan penyadaran total kepada setiap hamba-Nya. Dalam salah satu ayat
al-Qur’an kita telah diberitahu bahwa dalam diri kalian ada unsur fitrah, yang dengannya kalian perlu
menyadari bahwa diri kalian diciptakan oleh Allah, berada dalam genggaman
kekuasaan Allah, dan pada saatnya akan kembali jua kepada-Nya.
Fitrah
yang ada di dalam setiap individu merupakan factor dasar dan dominan dimana
seseorang yakin bahwa ada Yang Maha Menguasai alam, yaitu Allah SWT. Unsur
utama yang terkandung dalam fitrah itulah yang kita sebut iman. “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah
(itulah) agama yang lurus (QS. Ar-Rum;30).
Atas
dasar iman kepada Allah, seseorang akan selalu dan terus termotivasi untuk
melakukan perubahan yang bernilai kebaikan. Kebaikan yang dimaksud adalah semua
pikiran, perbuatan yang baik menurut Allah SWT dan baik pula bagi pelakunya.
b. Nilai
historia puasa
Sejarah berfungsi untuk dijadikan sebagai unsure ‘ibrah atau pembelajaran yang amat
berharga bagi setiap orang, baik sebagai individu maupun sosial.
Sejarah puasa yang terungkap sebelum periode kerasulan
Muhammad saw, misalnya riwayat diri ibunda Isa as, Maryam berkata “sesungguhnya aku telah bernazar akan
berpuasa karena Allah Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan
seorang manusiapun pada hari ini” (Q.S Maryam: 26). Demikian pula riwayat
Nabi Zakaria as. Zakaria di beri tanda-tanda oleh Allah swt dengan cara tidak
mampu berbicara selama tiga malam. Zakaria dalam do’anya ia menyatakan “ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda”, Allah
berfirman “Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan
manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat” (QS. Maryam:10). Boleh jadi
dari kedua kasus diatas, Maryam dan Nabi Zakaria as, di didik oleh Allah swt
untuk selalu menjaga lidah agar tidak sembarang berbicara, ngawur,
mengungkapkan perkataan yang tidak berbobot atau tidak berkualitas.
Beda halnya dengan puasa nabi Daud as. Puasa yang
dijalani oleh beliau puasa hari ini kemudian besoknya tidak atau puasa selang
sehari. Boleh jadi setiap hari kehidupan nabi Daud as dikehendaki Allah swt
agar jangan sampai terkontaminasi atau ternoda oleh ungkapan dan hal-hal tidak
suci.
c. Nilai
ketaqwaan kepada Allah swt
Taqwa adalah tujuan utama puasa. Taqwa
harus menjadi pakaian kita dalam menjalani kehidupan duniawi ini. Puasa wajib
ramadhan merupakan upaya Allah swt mendidik hamba-Nya untuk memasuki fase
kehidupan yang tidak bergantung kepada materi, melainkan kepada-Nya semata.
d. Nilai
imsak
Yang berarti suatu fase dimana seseorang
yang mau berpuasa mulai menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa. Nilai dan filosofi sangat tinggi dimana seseorang mulai
mampu menahan diri untuk tidak melakukan segala hal yang memungkinkan
mengurangi dan membatalkan berpuasa.
Nilai imsak ini mendidik manusia untuk
melatih kesabaran untuk menahan diri selama berpuasa. Sebagaimana firman Allah
swt: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar:10).
e. Nilai
ihtisaban (intropeksi diri)
Sabda Nabi saw: “Barangsiapa berpuasa penuh keimanan dan intropeksi diri, maka diampuni
segala dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhari Muslim).
Nilai ihtisaban ini mendidik manusia
untuk adanya kemauan dan kemampuan untuk melihat dan mengetahui kekurangan diri
sendiri akan melahirkan sikap rendah hati (tawadhu’) dan jujur (shiddiq)
sekaligus menjauhi sikap yang angkuh dan khianat.
f. Nilai
qiyam al-layl (shalat tarawih)
Setiap malam ramadhan umat Islam
disunnahkan untuk beramai-ramai mendatangi tempat ibadah untuk melaksanakan
shalat tarawih.
Melalui shalat tarawih, manusia di didik
dalam suasana kekeluargaan, rasa persaudaraan serta rasa kesetaraan di hadapan
Allah swt. Setiap orang Islam bergegas untuk mendatangi tempat Ibadah dengan
pakaian bagus, rapi, kemudian saling menyapa satu sama lain dengan penuh senyum
rasa hormat antar sesama Muslim.
3. Nilai-Nilai
Edukasi dari Zakat
Konsep
zakat menurut Islam adalah suatu kewajiban bagi orang kaya yang hartanya sudah
waktunya untuk dizakati (sudah satu nisab), yang diberikan oleh sikaya kepada
simiskin dengan syarat-syarat yang ditentukan, sebagai bentuk rasa syukur atas
segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka. Adapun nilai-nilai
edukasi dari ibadah shalat adalah:
a. Nilai
takwa
. Seseorang itu mensikapi akan perintah
Allah untuk mengeluarkan zakat, karena harta yang dicintai harus dikeluarkan
sebagian. Dengan dikeluarkan zakat, seseorang di didik dapat lebih senantiasa
bertakwa kepada Allah swt.
b. Nilai
ukhuwah
Perasaan persaudaraan yang benar
melahirkan perasaan yang mulia didalam jiwa muslim untuk membentuk sikap-sikap
sosial yang positif, seperti tolong-menolong, mengutamakan orang lain, kasih
sayang dan pemberian maaf serta menjauhi sifat-sifat negatif. Manusia adalah
bersaudara antara satu dengan yang lain, seseorang bisa dikatakan memahami
hakekat persaudaraan apabila seseorang menyadari kewajibannya sebagai saudara,
yaitu saling menolong orang miskin membutuhkan bantuan harta benda orang kaya,
sementara orang kaya yang mempunyai rasa spiritual keimanan akan merasa
berkewajiban untuk memberikan zakat sebagai hak bagi orang-orang miskin.
c. Nilai
solidaritas sosial
Bahwa dalam masyarakat manusia adalah
makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian tetapi saling membutuhkan dengan
jalan itu diharapkan saling membantu, sehingga ada balance (keseimbangan) dalam
masyarakat. Dalam kontek solidaritas sosial ini zakat sebagai kunci untuk
berbicara bahwasanya kalau sikaya bisa berkembang mengapa simiskin tidak bisa
berkembang, maka dengan ditanamkan nilai solidaritas sosial, sikaya merasa
senasib sepenanggungan dengan simiskin yang dalam hal ini diimplementasikan
dengan mengeluarkan zakat, karena itulah bentuk rasa solidaritas yang harus
ditunjukan oleh kaum muslim. Dengan demikian maka akan tercipta solidaritas
yang tinggi dalam masyarakat.
d. Nilai
keadilan
Pada dasarnya manusia adalah sama
dihadapan Allah yang membedakan hanyalah derajat ketakwaan seseorang, oleh
karena itu tidak ada perbedaan antara sikaya dan simiskin. Maksudnya adalah
bagaimana seorang paham akan kebersamaan, sehingga memberikan kesempatan bagi
simiskin untuk bisa bangkit dengan cara memberikan bantuan (zakat/modal)
sebagai modal usahanya, walaupun kenyataannya perbedaan simiskin dan kaya dalam
hal harta itu tidak bisa dihilangkan.
4. Nilai-Nilai
Edukasi dari Haji
Ibadah haji adalah membuat keputusan
untuk mengunjungi tempat yang suci. Disebut demikian karena kaum muslimin
minimal sekali seumur hidupnya sedapat mungkin membuat keputusan untuk
mengunjungi tanah suci, khususnya mekkah dan sekitarnya guna menunaikan rukin
islam yang kelima.
Dalam melaksanakan ibadah haji, terkandung banyak nilai –
nilai pendidikan didalamnya. Bila kita melihatnya dari sisi
pelaksanaan haji itu sendiri, maka kita dapat menagkap nilai pendidikan dari
istilah – istilah penting dalam haji, diantaranya:
Pertama, ibadah haji
dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian
ihram. Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut
Alqur’an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan
lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan
status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh
psikologis pada pemakainya. Itulah makanya, di Miqat, tempat di mana ritual
ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua
harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian
harus ditanggalkan, hingga semua merasa berada dalam satu kesatuan dan
persamaan. Dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih – putih,
sebagaimana yang akan yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri
perjalanan hidup di dunia ini. Seseorang yang melaksanakan ibadah haji akan
dipengaruhi jiwanya oleh pakaian ini, ia juga seharusnya juga merasakan
kelemahan dan merasakan keterbatasannya serta pertanggung jawaban yang akan
ditunaikannya kelak di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, yang di sisi-Nya tiada
perbedaan antara seseorang dengan yang lain, kecuali atas dasar pengabdian
kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah :”Barang siapa mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka
hendaklah ia beramal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadah kepada Tuhannnya.” (QS. Al-Kahfi,
110).
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah
larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Misalnya, larangan menyakiti
binatang, membunuh, menumpahkan darah, dan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena
manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan dan memberinya kesempatan
seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Tidak diperbolehkan juga
menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap
peserta haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata, pun bukan
pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula
menggunting rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan
menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
Ketiga, Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran amat
berharga dari segi kemanusiaan. Di sana, misalnya, ada Hijr Ismail yang arti
harfiahnya adalah pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail a.s. putra Ibrahim a.s.,
pembangun Ka’bah ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar,
seorang wanita hitam yang miskin dan bahkan budak, yang konon kuburannya pun di
tempat itu. Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana dan
peninggalannya diabadikan untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberi
kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi
karena kedekatannya kepadaNya dan usahanya untuk berhijrah dari kejahatan
menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.
Keempat, setelah selesai melakukan tawaf yang menjadikan
pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia lain, serta memberi kesan
kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah
SWT, dilakukanlah sa’i. Di sini muncul lagi Hajar, wanita bersahaja yang
diperistri Nabi Ibrahim a.s. itu, diperagakan pengalamannya mencari air untuk
putranya. Keyakinan wanita ini akan kebesaran dan kemahakuasaan
Allah sedemikian kokoh. Terbukti, jauh sebelum peristiwa pencaharian ini,
ketika ia bersedia ditinggal (Ibrahim) bersama anaknya di suatu lembah yang
tandus, keyakinannya yang begitu dalam tak menjadikannya sama sekali berpangku
tangan menunggu turunnya hujan dari langit, tapi ia berusaha dan berusaha
berkali-kali mondar-mandir demi mencari air. Hajar memulai usahanya dari bukit
Shafa yang arti harfiahnya adalah “kesucian dan ketegaran” - sebagai lambang
bahwa mencapai kehidupan harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan
ketegaran - dan berakhir di Marwa yang berarti “ideal manusia, sikap
menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang lain.”
Kalau tawaf
menggambarkan larut dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, atau dalam
istilah kaum sufi al-fana’ fi-Allah, maka sai’ menggambarkan usaha
manusia mencari hidup. Thawaf dan sa’i melambangkan bahwa kehidupan dunia dan
akhirat merupakan sutu kesatuan dan keterpaduan. Dengan tawaf, disadarilah
tujuan hidup manusia. Sedangkan ditunaikannya sa’i menggambarkan tugas manusia
sebagai “upaya semaksimal mungkin.” Hasil usaha pasti akan diperoleh baik
melalui usahanya maupun melalui anugerah Allah, seperti yang dialami Hajar
bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zam Zam itu. Sebagaimana Allah
berfirman :”Dan carilah apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan
janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi” ((QS Al-
Qashash : 77).
Kelima, wukuf di Arafah. Di padang yang luas lagi gersang itu
seluruh jamaah wuquf (berhenti) sampai terbenamnya matahari. Di sanalah
manusia seharusnya menemukan makrifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya,
akhir perjalanan hidupnya. Di sana pula ia mesti menyadari langkah-langkahnya
selama ini, sebagaimana ia menyadari pula betapa besar dan agung Tuhan yang
kepadaNya bersimpuh seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan dalam ritual
thawaf di padang tersebut.
Kesadaran-kesadaran
itulah yang mengantarkannya di padang Arafah untuk menjadi ‘arif atau sadar dan
mengetahui. Ia tak akan mengintip-ngintip kelemahan atau mencari-cari kesalahan
orang, ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun
karena jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.
Keenam, dari Arafah para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan
senjata menghadapi musuh utama yaitu setan. Kemudian melanjutkan perjalanan ke
Mina dan di sanalah para Jamaah haji secara simbolis melampiaskan kebencian dan
kemarahan mereka masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab
segala kegetiran yang dialaminya.
Salah satu
bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai pendidikan
bagi manusia adalah isi khutbah Nabi Muhammad SAW pada haji wada’ (haji
perpisahan) yang intinya menekankan: persamaan; keharusan memelihara jiwa,
harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melakukan penindasan atau
pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nilai
adalah merupakan sesuatu yang dianggap berharga dan menjadi tujuan yang hendak
dicapai. Nilai secara praktis merupakan sesuatu yang bermanfaat dan berharga
dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan
ibadah adalah proses pendidikan yang mengajarkan kepada seorang anak harus menjalankan rukun Islam
pada khususnya dan seluruh ajaran Islam pada umumnya. Sehingga menjadi hamba
Tuhan yang taat.
Nilai-nilai
yang terkandung di dalam shalat adalah: shalat diawali dengan bersuci, shalat
mendidik untuk berlaku jujur, shalat diakhiri salam ke kanan dan ke kiri, wujud
terhadap nilai keikhlasan kepada Allah swt. Nilai-nilai edukasi ibadah puasa
diantaranya: nilai pemeliharaan jiwa Tauhid yang ada di dalam diri setiap
orang, nilai historia puasa, nilai ketaqwaan kepada Allah swt, nilai imsak, nilai
ihtisaban (intropeksi diri), nilai qiyam al-layl (shalat tarawih).
Nilai-nilai edukasi zakat adalah: nilai takwa, nilai ukhuwah, nilai solidaritas
sosial, dan nilai keadilan. Nilai-nilai pendidikan dalam ibadah haji
adalah: ketika niat ihram dan mengenakan
pakaian ihram, melaksanakan tawaf, sa’i, wukuf, dan melempar jumroh.
B.
Kritik
dan Saran
Tiada
kesempurnaan di dunia ini, kami sangat mengharapkan kritik maupun saran dari
makalah ini tujuannya hanyalah demi kesempurnaan. Dan semoga makalah yang telah
kami susun bermanfaat bagi kita semua, Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut
Islam, Jakarta: Pustaka Amami, 1999.
Abudin
Nata, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Abu
Ahmadi, Noor Salimi, Dasar-Dasar
Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Mahmud,
Tedi Priatna, Pemikiran Pendidikan Islam,
Bandung: Sahifa, 2005.
luluvikar.files.wordpress.com/2011/05/skripsi-tuti.pdf.
adjhis.wordpress.com/2011/06/menggapai-nilai-edukasi-ibadah-ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar